Minggu, 19 April 2009

Limbah Kimia dan Pengaruhnya Terhadap Reproduksi Hewan

Oleh: Jalius
Nrp.P.062030041/PSL
Institut Pertanian Bogor
Program Pascasarjana/S3
E-mail: Jali_yus@yahoo.com

ABSTRAK

Ekosistem akuatik yang tercemari oleh limbah kimia yang meliputi pestisida, herbisida, fungisida, metal seperti mercury, cadmium, zincum, cuprum dan mangan serta limbah bahan plastik akan mempengaruhi kehidupan dan reproduksi hewan. Pengaruh terhadap reproduksi meliputi berkurangnya aktivitas kawin, produksi telur menurun, kerabang telur menipis, daya tetas menurun, interval beranak panjang, produksi hormon GnRH, FSH, estrogen dan testosteron menurun.


Kata Kunci: Limbah logam, plastik dan reproduksi hewan

Pendahuluan

Senyawa kimia yang secara nyata dapat mempengaruhi perkembangan janin yang dapat menimbulkan perubahan bentuk mulai dari kematian embrio sampai menyebabkan kelainan bentuk (malformasi) dan keterlambatan pertumbuhan. Secara kolektif respon-respon ini disebut sebagai efek embriotoksik. Hasil penelitian laboratorium terdapat banyak zat kimia yang dapat ditunjukan sebagai penyebab kelainan bentuk embrio atau teratogenik pada manusia dan hewan seperti pemberian talidomida, tiourasil, klorpropamida, kortison, etinil testosteron, nitrogen mustard, uretan, kolkisin, asam nikotinat, vitamin A, biru tripan, biru evan, aktinomisin D, fenilmerkuri asetat, plumbum dan talium (Loomis, 1978).

Sebagaimana kita ketahui bahwa untuk peningkatkan produksi hasil pertanian petani telah menggunakan pupuk pestisida sebagai pupuk seperti DDT (dichloro diphenyl trychloroethane), urea, posfat dan kalium dan banyak lagi jenis yang lainnya. Pupuk DDT merupakan kelompok dari chlorinated hydrocarbonat (CHs) yang mempunyai sifat polutan. Selanjunya menurut Cox, (1997) bahwa penggunaan peptisida dapat menyebabkan keracunan bagi organisme.

Pada aliran sungai, danau, pesisir dan laut yang terkontaminasi atau tercemar oleh pupuk DDT dapat menyebabkan penurunan aktifitas seksual pada burung (Henny dan Herron, 1989). Penggunaan pupuk urea, pospat dan kalium oleh patani di sawah kemunghkinan akan mencemari air sungai yang akan mengganggu ekosistem akuatik. Demikian juga limbah plastik yang sangat sulit diatasi dan merupakan polutan yang sukar didekomposisikan serta akan berdampak negatif terhadap ekosistem dan organisme. Oleh karena itu perlu dilakukan pengkajian tentang pengaruh toksik berbagai zat kimia terhadap aktifitas reproduksi hewan.

Pencemaran Pesticida dan Pengaruhnya pada Reproduksi Hewan

Dewasa ini obat-obat kimia untuk meningkatkan nilai tambah produksi hasil tanaman pangan, petani telah menggunakan peptisida, herbisida, pupuk urea, pospat dan kalium semakin gencar dipakai. Keadaan ini secara tidak langsung atau pun lansung akan mencemari air pada aliran sungai. Menurut Ratcliffe, (1967) bahwa penggunaan peptisida seperti chlorinated hydrocarbonate (CHs) akan mencemari aliran air atau ekosistem akuatik dan akan mempengaruhi secara langsung kepada hewan-hewan disekitarnya yang menkonsumsi air tersebut akan mati.

Risidu pestisida telah pula dapat ditunjukan dalam sampel yang diambil dari sungai di Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan dan Bali. Kadar risidu dalam air dan sayuran adalah rendah dan dibawah kadar yang membahayakan kesehatan menurut standar FAO dan WHO. Hasil penelitian Soemarwoto, (1980) pada berbagai sumber air dan sayur-sayuran dapat dilihat pada Tabel 1.

Daftar Tabel 1. Kadar risidu pestisida dalam lingkungan di Bandung.

BAHAN

Kadar residu pestisida (10-4mg/l)

Diazinon

Fenitrothlon

Dichlorvos

Supracid

Propoxur

Air ledeng

Air pompa

Sungai

Air Kolam

Sumur

Air sawah

Kangkung

Daun Sing-

kong

Daun keladi

Genjer

0,06 – 0,15

0.05 – 0,08

0,10 – 3,21

0,20 – 4,50

0,40 – 5,00

0,20 – 0,60

20,0 – 36,0

10,0 – 150,0

60,0 – 150

20,0 – 35,0

0,01 – 0,20

0,10 – 0,15

0,25– 3,00

0,38 – 4,00

0,02 – 2,00

0,13 – 2,00

8,00 – 26,0

20,0 – 25,0

20,0 - 60,0

8,00 – 23,0

0,02 – 0,04

tt

0,08 – 0,60

0,02 – 0,63

0,03 – 1,35

0,03 - 0,63

20,0 – 34,0

tt

tt

1,50 – 2,60

0,01 – 0,02

0,04 – 0,06

0,02 – 4,00

0,01 – 2,00

0,03 – 5,00

0,02 – 1,00

tt

1,00 – 4,00

40,0 – 100

1,50 – 2,40

0,10 – 0,20

0,10 – 0,26

0,22 – 0,60

0,15 –0,60

tt

0,30 – 0,50

83,5 – 111,4

20,0 – 92,0

tt

81,0 – 111,4

Catatan : tt = tidak terdeteksi Sumber : Soemarwoto, (1980).

Pencemaran air oleh peptisida akan mengakibatkan terakumulasinya peptisida pada organisme perairan tersebut terutama ikan. Menurut Ratcliffe, (1967) bahwa burung-burung yang hidup ditempat yang tercemar oleh peptisida dalam waktu yang lama dapat mengakibatkan kulit telurnya menipis. Dari beberapa species yang terkontaminasi menunjukan bahwa kerabang telur yang menipis pada burung dapat menurunkan populasi sekitar 18 persen (Lincer, 1975). Pencemaran dan kontaminasi peptisida DDT pada lingkungan air sungai dapat menyebabkan berkurangnya perkawinan beberapa species burung (Dirksen et al., 1995). Pada dosis yang tinggi akan mempengaruhi jaringan tubuh organisme, mengalami gangguan reproduksi dan genetik dari organisme yang bersangkutan (Smith, 1980). Selain itu juga penggunaan herbicida yang mengandung dioxin dapat mengakibaktakn berkurangnya aktifitas reproduksi dan dapat menyebabkan perkembangan abnormalitas pada itik (White dan Seginak, 1994). Penurunan aktifitas seksual akibat kontaminasi peptisida belum ada penjelasan yang mendalam, apakah target peptisida berada di kelenjar hypothalamus, atau di kelenjar hypifisa dan gonad (ovarium dan testis). Oleh karena itu perlu dikaji lebih mendalam tentang pencemaran peptisida dan pengaruhnya terhadap aktifitas reproduksi hewan.

Pencemaran lingkungan kita dengan senyawa kimia lebih dai 1000 macam sintetiknya (Maugh, 1978). Sebagian zat kimia tesebut adalah pestisida yang dipakai pada pertanian sebagai pupuk, zat tersebut merupakan potensi sebagai polutan pada lingkungan hidup organisme. Sebagimana penggunaannya dilakukan secara menyemprot yang potensi sebagai pencemar bagi lingkungan. Kontaminasi senyawa pestisida selama 20 tahun pada lingkungan, sehingga terjadi akumulasi yang mengakibatkan banyak manusia mengalami penyakit kanker (Higginson dan Muir, 1979). Penggunaan fungisida dapat mengakibatkan keracunan gen (genotoxicity), dengan kata lain sintesis DNA akan terhambat (von Aufess, 1989). Lingkungan yang tercemar dengan pestisida dapat menyebabkan genetic hazards atau perubahan yang terjadi pada gen-gen pada kromoson lymphocyte (Joksic et al., 1997).

Hasil penelitian di Florida penggunaan pestisida seperti chlorinsted hydrocarbon dapat menggangu respon bakteri dalam proses nitrifikasi. Penggunaan peptisida harus dibatasi kalau tidak akan mepengaruhi siklus nitrogen dan akan mempengaruhi kehidupan tanaman, hewan dan manusia (Southwick and Charles, 1972).

Menurut Clapham, (1973) bahwa suplai makanan burung murai yang tercemari oleh peptisida dapat mempengaruhi langsung terhadap mortalitas dan merusak alat reproduksinya.

Menurut Wilson dan Leigh, 1992 bahwa pestisida chlorinsted hydrocarbon dan sintetiknya dapat menyebabkan gangguan sistem reproduksi hewan dan manusia. Dari beberapa hasil penelitian menunjukan bahwa pestisida tersebut sangat berpengaruh terhadap produksi estrogen, sedangkan apabila hewan tersebut mengalami kronik terhadap pestisida dapat menyebabkan berkurangnya jumlah anak sekelahiran dan panjangnya interval beranak. Selain itu dapat pula menghambat perkembangan follikel dan ovulasi. Juga menyebabkan perubahan struktur organ kelamin dan menghambat gonadotropin.

Limbah Metal dan Pengaruhnya pada Reproduksi Hewan.

Hasil penelitian Cameron dan Foster, (1963) pemberian cadmium chloride 9-18 mg/kg berat badan secara subkutan pada kelinci dapat menyebabkan hyperaemia dan haemorhage selama pemberian 5-12 hari, juga mengakibatkan rusaknya sel-sel germinal dan sel Leydig. Slanjutnya menurut Nath et al., (1984) bahwa pemberian selenium dapat mencegah cadmiun memperkecil kelenjar testis.

Menurut Matsumoto et al., (1965) bahwa di Jepang terdapat penyakit Muramata yaitu syaraf-syaraf di cerebelum cortex tidak terintegrasi lagi sebagai akibat mengkonsumsi ikan yang hidup pada perairan yang tercemar mercuri yang berasal dari limbah industri. Lebih lanjut hasil penelitiannya menunjukan bahwa pemberian methylmercury dapat membahayakan sistem syaraf pusat. Selain itu senyawa mercuri sangat mempengaruhi teratogenik pada manusia.

Menurut Burger dan Gochfeld, (1997) species burung yang kena pencemaran mercury di dalam telurnya mengandung 1,5 ppm dan pada bulunya sekitar 5 – 40 ppm dapat menggangu aktifitas reproduksinya. Selain itu dijelaskan bahwa pada burung tersebut telurnya mempunyai daya tetas yang rendah, bobot anak dan kemampuan hidup anak menurun. Kalaupun hidup akan kelihatan tingkah lakunya tidak normal dan terjadi infertilitas. Pengaruh mercury pada berbagai species unggas terhadap gangguan reproduksi dapat dilihat Tabel 2.

Tabel 2. Tingkat Kosentrasi Mercury (ppm) dan pengaruhnya pada burung.

No.

Species

Kosentrasi (ppm)

Pengaruh

Sumber

1.

2.

3.

4.

Pheasant(Phasianus

Colchilus).

Pheasant

Black Duck (Anas rubripes).

Malard(A.platyrhynchos)

Common tern (Sterna hirundo)

0,05-1,5 (ww)

0,9-3,1(ww)

5,53 (ww)

4,70 (ww)

0,53 (ww)

0,70

0,5-0.9 (ww)

5,46 (dw)

1,0 (ww)

5,46 (dw)

3,65 (ww)

-menurunkan daya tetas

-kemampuan hidup anak

berkurang.

-berat telur berkurang

-kulit telur tipis

-menurunkan daya tetas

(50-80%).

-mengurangi kemam-

puan hidup anak.

-Daya tetas menurun

-kemampuan hidup anak

berkurang

-neural shrinkage

-neural lesions

-Demyelination

-mortalitas tinggi

-pertumbuhan embrio

berkurang.

-anak abnormal 58%.

-embrio malformation

-anak abnormal 27%

-daya tetas menurun

-menghambat pertum-

buhan embrio.

-anak abnormal 58%.

-kemampuan hidu ber-

kurang.

-chicks hyperresponsive

to frightening stimuli.

-Thinner shells

-gagal reproduksi

Fimreite, 1971.

Spann et al., 1972.

Finley & Stendell

1978.

Stendell, 1978

Hoffman dan

Moore, 1979.

Heinz, 1975.

Heinz, 1974,

1997a,b.

Heinz, 1976.

Heinz, 1976.

Fimreit, 1974

Catatan: ww= wet weight; dw= dry weight Sumber: Burger dan Gochfeld, (1997)

Menurut Wilson dan Leigh, 1992 bahwa mercuri dapat menghambat pelepasan GnRH oleh kelenjar hypothalamus dan menghambat ovulasi, belum diketahui apa yang terjadi pada kelenjar pituitary, sedangkan pada ovarium terjadi akumulasi mercuri di corpus luteum. Selanjunya cadmium mencegah sekresi LH dan terjadi estrus secara konstan, dan sampai sekarang belum diketahui efeknya terhadap kelenjar hypofisa. Sedangkan pengaruhnya pada ovarium adalah folikel menjadi nekrosis dan aliran darah ke uterus mengurang. Kekurangan unsur merangsang pelepasan prolaktin dan unsur selenium dapat mengurangi kesuburan. Kekurangan unsur Cu menghambat pelepasan GnRH. Mattison and Thomford, 1989 bahwa timah dapat menyebabkan hypotrophy uterus, penurunan sekresi progesteron, FSH, estrogen dan menghambat terjadinya implantasi.

Ferm, V.H., (1972) bahwa senyawa kimia dengan zinc yang berlebih dicampurkan dalam makanan dapat menyebabkan hydrocephalus pada tikus dan juga akan mempengaruhi metabolisme dalam perkembangan mesoderm untuk rangka. Senyawa kimia dengan mangan (mg) dapat mempengaruhi aktifitas ezim pada organel intraseluler, khususnya dalam mitochondria. Kelebihan unsur ini dapat mengganggu fungsi syaraf permanen. Selanjutnya dijelaskan bahwa unsur indium dapat merusak hati, tulang, otot dan kulit dan menyababkan malformasi. Unsur nikel dapat menyebabkan kanker dan unsur litium dapat menyebabkan ganguan syaraf, ganguan pembentukan corpus luteum, menghambat ovulasi dan implantasi.

Limbah Industri Plastik dan Pengaruhnya pada Reproduksi hewan.

Limbah industri plastik merupakan bagian yang terbesar dalam pencemaran lingkungan, selain itu juga waktu pelapukan plastik sangat lama. Sampah plastik sangat sukar didekomposisi sehingga sampah ini dapat dibawa oleh angin dan air yang mengakibatkan pencemaran sungai, danau, dan laut. Dengan demikian akan mempengaruhi ekosistem hewan akuatik.

Bahan dasar dari plastik adalah phthalate ester, di(ethylhexyl)phthalate (DEHP) merupakan polutan utama dunia. Materi ini banyak digunakan oleh industri makanan dan juga dalam bidang kedokteran seperti botol infus, syring dan lain-lain. Phthalate dapat menyababkan sel-sel leydig dimana mitochondria dan reticulum endoplasmik halusnya mengembung, sehingga akan menghambat produksi hormon testosteron (Altterwill dan Flack, 1992).

Lingkungan yang tercemari oleh polyclorinedated biphenyl (PCB) yang merupakan bahan campuran pembuatan plastik, capasitor dan transformer yang juga banyak dibuang dilaut. PCB secara biologi akan mempengaruhi kehidupan ikan, plankton dan organisme lain di ekosistem perairan. Seperti DDT, bahan ini juga dapat berupa risidu di dalam jaringan tubuh. Waktu paruhnya lama bisa terjadi akumulasi pada jaringan, orang yang memakan ikan yang terkontaminasi dengan PCB akan terjadi akumulasi pada tubuhnya. Pada burung yang mengandung risidu PCB akan menyababkan tipisnya telur-telur yang dihasilkannya, dan menurunkan daya tetas (Smith, 1980).

Kesimpulan.

Penggunaan pupuk pestisida, dan pembuangan limbah kimia seperti mercuri, cadmium, atau sejenis harus dilakukan dengan ekstra hati-hati, sehingga tidak merusak ekosistem dan berpengaruh terhadap kelangsungan reproduksi organisme dan akan memusnahkan species secara perlahan tanpa diketahui.

Daftar Pustaka

Atterwill, C.K., and J.D. Flack, 1992. Endocrine Toxicology. Cambridge. University Press.

Burger J, and M. Gochfeld, 1997. Risk, Mercury levels, and Birds: Relating adverse Laboratory Effects to Field Biomonitoring. Env. Res. 75, 160-172.

Cameron, E and Foster, C.L., 1963. Observation on the hystological effects of sub-lethal doses of cadmium chloride in rabbit. J. Anat.97.189-95.

Clampham, W.B., 1973. Nature Ecosystem. Macmillan Publishing Co. Inc. New York.

Cox, G.W., 1997. Conservation Biology: Concepts and Aplications. Second Ed. WCB. Publishers. Dubuque-Toronto.

Dirksen, S.J., T.J. Boudewijn, L.K Slager, R.G. Mes.M.J.M van Shaick, and P. de Voogt, 1995. Reduced breeding success of cormorants (Phalacrocorat carbo sinensis) in relation to presistent organochlorine pollution of aquatic habitats in Netherlands. Env. Pollut. 88.19-32.

Henny, C.I., and G.B. Herron, 1989. DDE, Selenium, Mercury and White face Ibis reproduction at Carson Lake, Navada. J. Wildl. Manag. 53.1032-45.

Higginson, J., dan Muir, C.S., 1979. Enviromental carcinogenesis: Misconceptions and limitations to cancer control. J. Natl. Cancer Inst. 63:1291.

Joksic. G., A. Vidakovie and V. Spasojevic-Tisma, 1997. Cytogenetic Monitoring of Pesticide Sprays. Env. Res. 75:113-118.

Lincer, J.L., 1975. DDE-induced eggshell thinning in the American Kestrel. A Comparison of the field situation and Laboratory result. J. Appl. 12:781-93.

Loomis, T.A., 1978. Essentials of Toxicology. Lea and Febiger.

Matsumoto, H., Koya, G and Takeuchi, T., 1965. Fetal minamata disease. J. Neuropath. Exp. Neurol. 24:263-74.

Mattison, D.R., and Thomford, P.J., 1989. Mechanisms of action of reproductive toxicant. In. Toxicology of the male and famale reproductive system, ed P.K. Woking, pp.101-29. New York: Hemisphere Publishing Corporation.

Maugh, T.H., 1978. Chemicals: How many are there?. Science. 199:162.

Nath, R., Prasad, R., Palinal, V.K and Chopra, R.K., 1984. Molecular basis of cadmium toxicity. Prog. Food Nutr. Sci., 8, 109-64.

Ractcliffe, 1967. Decrease in eggshell weight in certain Birds of prey. Nature. 215:208-10.

Smith, R. L., 1980. Ecology and Field Biology. Third Ed. Harper and Row, Publishers, New York.

Soemarwoto, O., 1980. Aspek Ekologi Penganekaan Pangan. Penerbit Yayasan Pembina Fakultas Pertanian Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

Southwick and Charles, H., 1972 Ecology and the Quality of Our Environmental. New York: Van Nostrand.

Von Ausfess, G., Beicht, W., Borquin, H.D., Hantage, E., Heil, J Muller, M.J., Opfermann, H., Reimer, J., Zahn, R.K., and Zimmer, K.H., 1989. Uniter-Suchugen zum Austrag von Pflauzenschutzmiteln und Nahr-stroffen aus Rebachen des Moseltals. Dtsch. Verb. Wasserwirtech. Kulturbay Schriftenr.88:1-78.

Wilson, C.A., dan A. J. Leigh, 1992. Endocrine toxicology of the famale reproductive system. In. Endocrine toxicology, ed: Christopher, K.A and John D. Flack, Cambridge. University Press.

Wurster, C.F., 1969. Chlormated hydrocarbon insectedes and the world ecosystem. Biol. Cons. !:123-29.

White, D.H., and J.T. Seginak, 1994. Dioxin and Furan linked to reproductive impairment in wood ducks. J. Wildl. Manag. 58:100-6.


Makalah Limbah Udang

POTENSI LIMBAH UDANG SEBAGAI PENYERAP LOGAM BERAT (TIMBAL, KADMIUM, DAN TEMBAGA) DI PERAIRAN

Oleh : Marganof P. 062030111 PSLE-mail : Marganof@yahoo.com

http://rudyct.topcities.com/pps702_71034/marganof.htm

Abstrak

Pencemaran lingkungan perairan yang disebabkan oleh logam-logam berat seperti kadmium, timbal dan tembaga yang berasal dari limbah industri sudah lama diketahui. Untuk menghilangkan bahan pencemar perairan tersebut hingga kini masih terus dikembangkan. Penggunaan biomaterial merupakan salah satu teknologi yang dapat dipertimbangkan, mengingat meterialnya mudah didapatkan dan membutuhkan biaya yang realtif murah sebagai bahan penyerap senyawa beracun dalam air limbah.

Limbah udang yang berupa kulit, kepala, dan ekor dengan mudah didapatkan mengandung senyawa kimia berupa khitin dan khitosan. Senyawa ini dapat diolah dan dimanfaatkan sebagai bahan penyerap logam-logam berat yang dihasilkan oleh limbah industri. Hal ini dimungkinkan karena senyawa khitin dan khitosan mempunyai sifat sebagai bahan pengemulsi koagulasi, reaktifitas kimia yang tinggi dan menyebabkan sifat polielektrolit kation sehingga dapat berperan sebagai penukar ion (ion exchanger) dan dapat berpungsi sebagai absorben terhadap logam berat dalam air limbah.

Kata kunci : logam berat, khitin, khitosan, koagulasi, absorben

Pendahuluan

Pembangunan yang pesat dibidang ekonomi disatu sisi akan meningkatkan kualitas hidup manusia, yaitu dengan meningkatnya pendapatan masyarakat, tetapi di sisi lain akan berakibat pada penurunan kesehatan akibat adanya pencemaran yang berasal dari limbah industri dan rumahtangga. Hal ini karena kurangnya atau tidak memadainya fasilitas atau peralatan untuk menangani dan mengelola limbah tersebut.

Salah satu pencemaran pada badan air adalah masuknya logam berat. Peningkatan kadar logam berat di dalam perairan akan diikuti oleh peningkatan kadar zat tersebut dalam organisme air seperti kerang, rumput laut dan biota laut lainnya. Pemanfatan organisme ini sebagai bahan makanan akan membahayakan kesehatan manusia.

Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan maka berkembang pulalah industri-industri. Akibatnya lingkungan menjadi salah satu sasaran pencemaran, terutama sekali lingkungan perairan yang sudah pasti terganggu oleh adanya limbah industri, baik industri pertanian maupun industri pertambangan. Kebanyakan dari limbah itu biasanya dibuang begitu saja tanpa pengolahan terlebih dahulu.

Berbagai metode seperti penukar ion, penyerapan dengan karbon aktif (Rama, 1990) dan pengendapan secara elektrolisis telah dilakukan untuk menyerap bahan pencemar beracun dari limbah, tetapi cara ini membutuhkan biaya yang sangat tinggi dalam pengoperasiannya. Penggunaan bahan biomaterial sebagai penyerap ion logam berat merupakan alternatif yang memberikan harapan. Sejumlah biomaterial seperti lumut (Low et al., 1977), daun teh (Tan dan Majid, 1989), sekam padi (Munaf , 1997), dan sabut kelapa sawit (Munaf, 1999), begitu juga dari bahan non biomaterial seperti perlit, tanah gambut, lumpur aktif dan lain-lain telah digunakan sebagai bahan penyerap logam-logam berat dalam air limbah.

Kulit udang yang mengandung senyawa kimia khitin dan khitosan merupakan limbah yang mudah didapat dan tersedia dalam jumlah yang banyak, yang selama ini belum termanfaatkan secara optimal.

Dengan adanya sifat-sifat khitin dan khitosan yang dihubungkan dengan gugus amino dan hidroksil yang terikat, maka menyebabkan khitin dan khitosan mempunyai reaktifitas kimia yang tinggi dan menyebabkan sifat polielektrolit kation sehingga dapat berperan sebagai penukar ion (ion exchanger) dan dapat berperan sebagai absorben terhadap logam berat dalam air limbah ( Hirano, 1986). Karena berperan sebagai penukar ion dan sebagai absorben maka khitin dan khitosan dari limbah udang berpotensi dalam memcahkan masalah pencemaran lingkungan perairan dengan penyerapan yang lebih murah dan bahannya mudah didapatkan.

Limbah Udang sebagai Material Penyerap Logam Berat

Sebagian besar limbah udang berasal dari kulit, kepala, dan ekornya. Fungsi kulit udang tersebut pada hewan udang (hewan golongan invertebrata) yaitu sebagai pelindung (Neely dan Wiliam, 1969). Kulit udang mengandung protein (25 % - 40%), kalsium karbonat (45% - 50%), dan khitin (15% - 20%), tetapi besarnya kandungan komponen tersebut tergantung pada jenis udangnya. sedangkan kulit kepiting mengandung protein (15,60% - 23,90%), kalsium karbonat (53,70 – 78,40%), dan khitin (18,70% - 32,20%), hal ini juga tergantung pada jenis kepiting dan tempat hidupnya (Focher et al., 1992)

Kandungan khitin dalam kulit udang lebih sedikit dari kulit kepiting, tetapi kulit udang lebih mudah didapat dan tersedia dalam jumlah yang banyak sebagai limbah.

Khitin berasal dari bahasa Yunani yang berarti baju rantai besi, pertama kali diteliti oleh Bracanot pada tahun 1811 dalam residu ekstrak jamur yang dinamakan fungiue. Pada tahun 1823 Odins mengisolasi suatu senyawa kutikula serangga janis ekstra yang disebut dengan nama khitin (Neely dan Wiliam, 1969). Khitin merupakan konstituen organik yang sangat penting pada hewan golongan orthopoda, annelida, molusca, corlengterfa, dan nematoda. Khitin biasanya berkonyugasi dengan protein dan tidak hanya terdapat pada kulit dan kerangkanya saja, tetapi juga terdapat pada trachea, insang, dinding usus, dan pada bagian dalam kulit pada cumi-cumi (Neely dan Wiliam, 1969). Adanya khitin dapat dideteksi dengan reaksi warna Van Wesslink. Pada cara ini khitin direaksikan dengan I2-KI yang memberikan warna coklat, kemudian jika ditambahkan asam sulfat berubah warnanya menjadi violet. Perubahan warna dari coklat hingga menjadi violet menunjukan reaksi positif adanya khitin.

Khitin termasuk golongan polisakarida yang mempunyai berat molekul tinggi dan merupakan melekul polimer berantai lurus dengan nama lain b-(1-4)-2-asetamida-2-dioksi-D-glukosa (N-asetil-D-Glukosamin) (Hirano, 1986; Tokura, 1995). Struktur khitin sama dengan selulosa dimana ikatan yang terjadi antara monomernya terangkai dengan ikatan glikosida pada posisi b-(1-4). Perbedaannya dengan selulosa adalah gugus hidroksil yang terikat pada atom karbon yang kedua pada khitin diganti oleh gugus asetamida (NHCOCH2) sehingga khitin menjadi sebuah polimer berunit N-asetilglukosamin (The Merck Indek, 1976).

Khitin mempunyai rumus molekul C18H26N2O10 (Hirano, 1976) merupakan zat padat yang tak berbentuk (amorphous), tak larut dalam air, asam anorganik encer, alkali encer dan pekat, alkohol, dan pelarut organik lainnya tetapi larut dalam asam-asam mineral yang pekat. Khitin kurang larut dibandingkan dengan selulosa dan merupakan N-glukosamin yang terdeasetilasi sedikit, sedangkan khitosan adalah khitin yang terdeasetilasi sebanyak mungkin.

Khitosan yang disebut juga dengan b-1,4-2 amino-2-dioksi-D-glukosa merupakan turunan dari khitin melalui proses deasetilasi. Khitosan juga merupakan suatu polimer multifungsi karena mengandung tiga jenis gugus fungsi yaitu asam amino, gugus hidroksil primer dan skunder. Adanya gugus fungsi ini menyebabkan khitosan mempunyai kreatifitas kimia yang tinggi (Tokura, 1995).

Khitosan merupakan senyawa yang tidak larut dalam air, larutan basa kuat, sedikit larut dalam HCl dan HNO3, dan H3 PO4, dan tidak larut dalam H2SO4. Khitosan tidak beracun, mudah mengalami biodegradasi dan bersifat polielektrolitik (Hirano, 1986). Disamping itu khitosan dapat dengan mudah berinteraksi dengan zat-zat organik lainnya seperti protein. Oleh karena itu, khitosan relatif lebih banyak digunakan pada berbagai bidang industri terapan dan induistri kesehatan (Muzzarelli, 1986)

Saat ini budi daya udang dengan tambak telah berkembang dengan pesat, karena udang merupakan komoditi ekspor yang dapat dihandalkan dalam meningkatkan ekspor non -migas dan merupakan salah satu jenis biota laut yang bernilai ekonomis tinggi. Udang di Indonesia pada umumnya diekspor dalam bentuk udang beku yang telah dibuang bagian kepala, kulit, dan ekornya.

Limbah yang dihasilkan dari proses pembekuan udang, pengalengan udang, dan pengolahan kerupuk udang berkisar antara 30% - 75% dari berat udang. Dengan demikian jumlah bagian yang terbuang dari usaha pengolahan udang cukup tinggi (Anonim, 1994). Limbah kulit udang mengandung konstituen utama yang terdiri dari protein, kalsium karbonat, khitin, pigmen, abu, dan lain-lain (Anonim, 1994)

Meningkatnya jumlah limbah udang masih merupakan masalah yang perlu dicarikan upaya pemanfaatannya. Hal ini bukan saja memberikan nilai tambah pada usaha pengolahan udang, akan tetapi juga dapat menanggulangi masalah pencemaran lingkungan yang ditimbulkan, terutama masalah bau yang dikeluarkan serta estetika lingkungan yang kurang bagus (Manjang, 1993).

Saat ini di Indonesia sebagian kecil dari limbah udang sudah termanfaatkan dalam hal pembuatan kerupuk udang, petis, terasi, dan bahan pencampur pakan ternak. Sedangkan di negara maju seperti Amerika Serikat dan Jepang, limbah udang telah dimanfaatkan di dalam industri sebagai bahan dasar pembuatan khitin dan khitosan. Manfaatnya di berbagai industri modern banyak sekali seperti industri farmasi, biokimia, bioteknologi, biomedikal, pangan, kertas, tekstil, pertanian, dan kesehatan. Khitin dan khitosan serta turunannya mempunyai sifat sebagai bahan pengemulsi koagulasi dan penebal emulsi (Lang, 1995).

Isolasi khitin dari limbah kulit udang dilakukan secara bertahap yaitu tahap pemisahan protein (deproteinasi) dengan larutan basa, demineralisasi, tahap pemutihan (bleancing) dengan aseton dan natrium hipoklorit. Sedangkan transformasi khitin menjadi khitosan dilakukan tahap deasetilasi dengan basa berkonsentrasi tinggi, seperti terlihat pada gambar 1 (Ferrer et al., 1996; Arreneuz, 1996., dan Fahmi, 1997)

Khitin dan khitosan yang diperoleh dari limbah kulit udang digunakan sebagai absorben untuk menyerap ion kadmium, tembaga, dan timbal dengan cara dinamis dengan mengatur kondisi penyerapan sehingga air yang dibuang ke lingkungan menjadi air yang bebas dari ion-ion logam berat. Mengingat besarnya manfaat dari senyawa khitin dan khitosan serta tersedianya bahan baku yang banyak dan mudah didapatkan maka perlu pengkajian dan pengembangan dari limbah ini sebagai bahan penyerap terhadap logam-logam berat diperairan.

Gambar 1. Diagram Alir Metode Isolasi khitin dari Limbah Udang

Logam Berat Beracun di Perairan

Logam berat adalah unsur-unsur kimia dengan bobot jenis lebih besar dari 5 gr/cm3, terletak di sudut kanan bawah sistem periodik, mempunyai afinitas yang tinggi terhadap unsur S dan biasanya bernomor atom 22 sampai 92 dari perioda 4 sampai 7 (Miettinen, 1977). Sebagian logam berat seperti timbal (Pb), kadmium (Cd), dan merkuri (Hg) merupakan zat pencemar yang berbahaya. Afinitas yang tinggi terhadap unsur S menyebabkan logam ini menyerang ikatan belerang dalam enzim, sehingga enzim bersangkutan menjadi tak aktif. Gugus karboksilat (-COOH) dan amina (-NH2) juga bereaksi dengan logam berat. Kadmium, timbal, dan tembaga terikat pada sel-sel membran yang menghambat proses transpormasi melalui dinding sel. Logam berat juga mengendapkan senyawa fosfat biologis atau mengkatalis penguraiannya (Manahan, 1977).

Berdasarkan sifat kimia dan fisikanya, maka tingkat atau daya racun logam berat terhadap hewan air dapat diurutkan (dari tinggi ke rendah) sebagai berikut merkuri (Hg), kadmium (Cd), seng (Zn), timah hitam (Pb), krom (Cr), nikel (Ni), dan kobalt (Co) (Sutamihardja dkk, 1982). Menurut Darmono (1995) daftar urutan toksisitas logam paling tinggi ke paling rendah terhadap manusia yang mengkomsumsi ikan adalah sebagai berikut Hg2+ > Cd2+ >Ag2+ > Ni2+ > Pb2+ > As2+ > Cr2+ Sn2+ > Zn2+. Sedangkan menurut Kementrian Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup (1990) sifat toksisitas logam berat dapat dikelompokan ke dalam 3 kelompok, yaitu bersifat toksik tinggi yang terdiri dari atas unsur-unsur Hg, Cd, Pb, Cu, dan Zn. Bersifat toksik sedang terdiri dari unsur-unsur Cr, Ni, dan Co, sedangkan bersifat tosik rendah terdiri atas unsur Mn dan Fe.

Adanya logam berat di perairan, berbahaya baik secara langsung terhadap kehidupan organisme, maupun efeknya secara tidak langsung terhadap kesehatan manusia. Hal ini berkaitan dengan sifat-sifat logam berat ( PPLH-IPB, 1997; Sutamihardja dkk, 1982) yaitu :

1. Sulit didegradasi, sehingga mudah terakumulasi dalam lingkungan perairan dan keberadaannya secara alami sulit terurai (dihilangkan)

2. Dapat terakumulasi dalam organisme termasuk kerang dan ikan, dan akan membahayakan kesehatan manusia yang mengkomsumsi organisme tersebut

3. Mudah terakumulasi di sedimen, sehingga konsentrasinya selalu lebih tinggi dari konsentrasi logam dalam air. Disamping itu sedimen mudah tersuspensi karena pergerakan masa air yang akan melarutkan kembali logam yang dikandungnya ke dalam air, sehingga sedimen menjadi sumber pencemar potensial dalam skala waktu tertentu

Kadmium dalam air berasal dari pembuangan industri dan limbah pertambangan. Logam ini sering digunakan sebagai pigmen pada keramik, dalam penyepuhan listrik, pada pembuatan alloy, dan baterai alkali. Keracunan kadmium dapat bersifat akut dan kronis. Efek keracunan yang dapat ditimbulkannya berupa penyakit paru-paru, hati, tekanan darah tinggi, gangguan pada sistem ginjal dan kelenjer pencernaan serta mengakibatkan kerapuhan pada tulang (Clarkson, 1988; dan Saeni, 1997)

Tembaga merupakan logam yang ditemukan dialam dalam bentuk senyawa dengan sulfida (CuS). Tembaga sering digunakan pada pabrik-pabrik yang memproduksi peralatan listrik, gelas , dan alloy. Tembaga masuk keperairan merupakan faktor alamiah seperti terjadinya pengikisan dari batuan mineral sehingga terdapat debu, partikel-partikel tembaga yang terdapat dalam lapisan udara akan terbawa oleh hujan. Tembaga juga berasal dari buangan bahan yang mengandung tembaga seperti dari industri galangan kapal, industri pengolahan kayu, dan limbah domestik.

Pada konsentrasi 2,3 – 2,5 mg/l dapat mematikan ikan dan akan menimbulkan efek keracunan, yaitu kerusakan pada selaput lendir (Saeni, 1997). Tembaga dalam tubuh berfungsi sebagai sintesa hemoglobin dan tidak mudah dieksresikan dalam urine karena sebagian terikat dengan protein, sebagian dieksresikan melalui empedu ke dalam usus dan dibuang kefeses, sebagian lagi menumpuk dalam hati dan ginjal, sehingga menyebabkan penyakit anemia dan tuberkulosis.

Logam timbal (Pb) berasal dari buangan industri metalurgi, yang bersifat racun dalam bentuk Pb-arsenat. Dapat juga berasal dari proses korosi lead bearing alloys. Kadang-kadang terdapat dalam bentuk kompleks dengan zat organik seperti hexaetil timbal, dan tetra alkil lead (TAL) (Iqbal dan Qadir, 1990)

Pada hewan dan manusia timbal dapat masuk ke dalam tubuh melalui makanan dan minuman yang dikomsumsi serta melalui pernapasan dan penetrasi pada kulit. Di dalam tubuh manusia, timbal dapat menghambat aktifitas enzim yang terlibat dalam pembentukan hemoglobin yang dapat menyebabkan penyakit anemia. Gejala yang diakibatkan dari keracunan logam timbal adalah kurangnya nafsu makan, kejang, kolik khusus, muntah dan pusing-pusing. Timbal dapat juga menyerang susunan saraf dan mengganggu sistem reproduksi, kelainan ginjal, dan kelainan jiwa (Iqbal dkk 1990; Pallar, 1994)

Proses perjalanan logam berat dari sumber pencemar hingga sampai ke tubuh manusia digambarkan dalam gambar 1 (Suwirma, 1988).

Gambar 2. Skema perjalanan logam berat dari sumber pencemar sampai ke tubuh manusia

Penutup

Berdasarkan urian di atas dapat dinyatakan bahwa pemanfaatan limbah udang sebagai bahan penyerap ion logam berat pada perairan sudah seharusnya dapat dikembangkan. Hal ini memungkinkan untuk dilaksanakan mengingat limbah udang yang mudah didapat dengan proses yang relatif mudah dan sekaligus dapat meningkatkan estetika lingkungan dari bau yang ditimbulkan limbah. Disamping itu dengan mengembangkan alternatif penyerapan logam berat yang bersifat racun bagi kehidupan organime akan dapat meningkatkan kesehatan masyarakat dan juga dapat meningkatkan taraf hidup bangsa Indonesia.

Daftar Pustaka

Anonim, 1994. Pengolahan dan Pemanfaatan Limbah Hasil Perairan Seri I. Dirjen Perikanan, Jakarta.

Arreneuz, S. 1996. Isolasi Khitin dan Transformasinya menjadi Khitosan dari Limbah Kepiting Bakau (Seylla Serrata) [Skripsi]. Bandung: Universitas Jendral Ahmad Yani, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Fahmi, R. 1997. Isolasi dan Transformasi Khitin Menjadi Khitosan. Jurnal Kimia Andalas. 3 (1) : 61 – 68.

Ferrer, J., G. Paez, Z. Marmol, E. Ramons, H. Garcia and C.F. Forster. 1996. Acid hydrolysis of Shrimp ShellWastes and The Production of Single Chell Protein from The Hydrolysate. Journal Bioresour Technology. 57 (1) : 55 – 60.

Focher, B., Naggi, A., Tarri, G., Cosami, A. and Terbojevich, M. 1992. Structural Differences Between Chitin Polymorphs and Their Precipitates from Solution Evidence from CP-MAS 13 C-NMR, FT-IR and FT-Raman Spectroscopy. Charbohidrat Polymer. 17 (2) : 97 – 102.

Hirano, S. 1986. Chitin and Chitosan. Ulmann’s Encyclopedia of Industrial Chemistry. Republicka of Germany. 5th . ed. A 6: 231 – 232.

------------ 1995. Biomedical and Animal Feed Additive Application of Chitin and Chitosan. Collerction of Working Papers 28. Universiti Kebangsaan Malaysia. 24 : 221 –0 226.

Iqbal, H. Z. and M.A. Qodir. 1990. AAS determination of Lead and Cadmium in Leaves Polluted by Vehicles Exhoust. Interface. Juornal Environmental Analytic Chemistry. 38 (4) : 533 – 538

KPPL DKI Jakarta dan PPLH IPB. 1997. Studi Potensi Kawasan Perairan Teluk Jakarta, Laporan Akhir

Lang, G. 1995. Chitosan Derivatives-Preparation and Potential Uses. Collection of working Papers 28. Universiti Kebangsaan Malaysia. 11 : 109 – 114

Low, K.S., C.K. Lee and S.G. Tan. 1997. Sorption of Trivalent Chromium from Tannery Waste by Moss. Juornal Environmental Technology. 18 : 449 – 454

Manahan, S.E. 1977. Environmental Chemistry. Second Ed. Williard Press. Boston

Manjang, Y. 1993. Analisa Ekstrak Berbagai Jenis Kulit Udang Terhadap Mutu Khitosan. Jurnal Penelitian Andalas. 12 (V) : 138 – 143

Mittinen, J.K. 1977. Inorganic Trace Element as Water Pollutan to Healt and Aquatic Biota dalam F. Coulation an E. Mrak, Ed. Water Quality Procced of an Int. Forum. Academic Press. New york

Munaf, E dan R. Zein. 1999. Pemanfaatan Sabut Kelapa Sawit untuk Menyerap Ion Logam Kadmium dan Kromium Dalam Air Limbah. Jurnal Kimia Andalas. 5 (1) : 10 – 14

Muzzarelli, R.A.A. 1986. Chitin. Faculty of Medicine Univeersity of Ancona. Italy. Pergamon Press. 81 –87

Neely, M.C.H and William. 1969. Chitin and Its Derivates in Industrial. Gums Kelco Company California. 193 – 212

Pallar, H. 1994. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. Rineka Cipta. Jakarta. pp.61 –73, 116 – 137

Rama, D.P., and Rama Krisha Naidu, G. 1990. Enrichment of Trace Metals in Water on Activated Carbon. Analyst. 115 : 1469 – 1471

Saeni, M.S. 1997. Penentuan Tingkat Pencemaran Logam Berat dengan Analisis Rambut. Orasi Ilmiah, Guru Besar Tetap Ilmu Kimia Lingkungan, Fakultas Matematika dan IPA IPB. Bogor

Sutamihardja, R.T.M., Adnan, K. dan Sanusi. 1982. Perairan Teluik Jakarta Ditinjau dar Tingkat Pencemarannya. Fakultas Pascasarjana, Jurusan PSL. IPB

Suwirma, S., Surtipanti, S., dan Thamsil, L. 1988. Distribusi Logam Berat Hg, Pb, Cd, Cr, Cu, dan Zn dalam Tubuh Ikan. Majalah Batan. 9 (8) : 9 – 16

Tan, W. T. and A.r. Majid Khan. 1989. Removal of Lead, Cadmium and Zinc by Waste Tea Leaves. Journal Environmental Technology. 9: 1223 – 1232

The Merck Indek an Encyclopedia of Chemicals and Drugs. 1976. Chitin. 9th . Ed. Merck and Co. Int.Rahway. N.J. USA. pp. 259

Tokura, S. and N. Nishi. 1995. Specification and Characterization of Chitin and Chitosan. Collection of Working Papers. 28. Univesiti Kebangsaan Malaysia 8 : 67 – 78